Pada 17-21 Oktober 2022, mensen met een missie bekerjasama dengan Zero Human Traffciking Network dan Migrant Care menyelenggarakan kegiatan Workshop Eliminasi Harmful, Norms, Power and Conviction yang berpengaruh terhadap Kekerasan Berbasis Gender dan Perdagangan Orang di Kristal Hotel Kupang dengan mengundang pemimpin lokal dari 22 kota/kabupaten di NTT. Workshop ini bertujuan untuk mendiskusikan hasil penelitian, prioritas, dari norma, kekuasaan dan keyakinan yang berbahaya di NTT serta meningkatkan kapasitas dari para pemimpin lokal dengan menggunakan Pendekatan Tranformasi Gender untuk eliminasi norma, kekuasaan dan keyakinan yang berbahaya yang berkontribusi dalam Kekerasan Berbasis Gender dan Perdagangan Orang. Selain itu, tujuan workshop ini adalah untuk merumuskan agenda aksi dalam pencegahan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dalam pembukaan workshop pada hari pertama, Koordinator Zero Human Trafficking Network (ZHTN), Romo Agus Duka, SVD mengharapkan workshop ini berjalan dengan lancar dan peserta bisa terlibat aktif dalam diskusi eliminasi norma, kekuasan dan keyakinan yang berbahaya dan berpengaruh terhadap KBG dan TPPO. Poin utama dari workshop ini adalah mengenal norma relasi kuasa yang ada, upaya menemukan norma yang berkontribusi dalam kekerasan terhadap perempuan dan TPPO serta upaya untuk mengurangi dan bahkan menghapusnya.
Di hari kedua, Romo Agus Duka, SVD menjelaskan tentang hasil temuan dari penelitian tentang keyakinan dan kekuasaan yang berbahaya di NTT.
Ada 13 konfiksi yang di paparkan, diantaranya adalah pembayaran belis sebagai praktik adat, pembayaran sirih pinang sebagai praktik adat yang baik, kuasa pengambilan keputusan ada ditangan suami bukan istri, pendapatan dan aset perempuan adalah milik laki-laki, pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan dan tabu bagi laki-laki, pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak dipandang remeh maka perempuan yang bekerja di luar negeri pun diremehkan, anak perempuan dan perempuan harus disalahkan ketika mereka mengalami korban kekerasan, perempuan memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan seksual laki-laki, laki-laki harus kuat dan berani, saudara laki-laki selalu lebih dihormati oleh saudara perempuan dan saudara perempuan wajib membantu saudara laki-laki, kerabat dekat dan kerabat jauh selalu dapat di percaya (termasuk sebagai perekrut pekerja lapangan), perceraian bukan pilihan yang dapat di pertimbangkan bahkan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang parah, perdagangan manusia dan kekerasan dalam rumah tangga bukanlah prioritas para pemimpin gereja.
“Keyakinan ini adalah keyakinan yang berhubungan dengan kekuasaan yang membahayakan dalam penerapan yang menggunakan konstruksi sosial yang berbahaya.” Jelas Romo Agus Duka, SVD.
Emiritus Emmy Sahertian sebagai penanggap mengemukakan bahwa adat, agama, dan negara menjadi tungku kebutuhan dasar dalam menghadapi Kekerasan Berbasis Gender dan TPPO.
Dari hasil diskusi di antara peserta, diputuskan ada 6 keyakinan berbahaya yang sering terjadi di NTT yaitu pembayaran belis sebagai praktik adat, kuasa pengambilan keputusan ada di tangan suami bukan istri, pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan dan tabu bagi laki-laki, anak perempuan dan perempuan harus disalahkan ketika menjadi korban kekerasan, kerabat dekat dan kerabat jauh selalu dapat di percaya (termasuk sebagai perekrut pekerja lapangan) dan perdagangan manusia dan kekerasan dalam rumah tangga bukanlah prioritas para pemimpin gereja.
Hari ketiga, peserta belajar dan berdiskusi tentang kerangka kerja ekologis Perdagangan Manusia dan Kekerasan Seksual. Beberapa sistem dari kerangka kerja ekologis tersebut diantaranya sistem makro yang berkaitan dengan budaya, sistem exo dimana ada pengalaman dari lingkungan sosial termasuk ekonomi, sistem mikro yang berkaitan dengan lingkungan hidup, dan sejarah hidup atau pribadi. Selanjutnya peserta berdiskusi tentang refleksi strategi yang di gunakan untuk mengatasi perdagangan manusia, norma dan keyakinan berbahaya. Tujuannya adalah merefleksikan praktik-praktik sebelumnya dalam menanggapi TPPO dan KBG dari enam keyakinan yang sudah disepakati sebelumnya.
Peserta workshop juga mendapatkan materi tentang Interseksional dan Relasi Kuasa. Untuk memahami itu, Ibu Tory Atta selaku fasilitator menjelaskan bahwa didalam interseksionalitas ada identitas sosial yang meliputi gender, ras, etnis, kelas sosial, kultur, orientasi seksual dan identitas gender. Semakin banyak identitas yang melekat dalam diri bisa mendapatkan diskiriminasi. Interseksionalitas membentuk sistem penindasan, dominasi dan diskriminasi. Berkaitan dengan relasi kuasa, jika mengalami ketimpangan makan bisa menimbulkan ketidakadilan terutama saat seseorang dari orang lain dan bisa menjadi KBG, melihat bahwa salah satu jenis kelamin lebih rendah dengan korban paling banyak adalah perempuan dan anak.
“Korban KBG sangat rentan menjadi korban TPPO dengan berbagai modus serta menyalahgunakan kewenangan, kekuasaan dan budaya. Human Trafficking merupakan bisnis global selain bisnis senjata dan narkoba. Human Trafficking begitu rumit mulai dari tingkat internasional sampai pada tingkat lokal. Satu hal yang pasti, Perdagangan Manusia terjadi baik di dalam negeri maupun antar negera. Kesimpulannya adalah interseksionalitas besumber dari ketimpangan relasi kuasa, KBG dan TPPO,” jelas Ibu Tory Atta.
Untuk bisa mencapai kesetaraan gender maka pendekatan yang bisa digunakan adalah Pendekatan Tranformasi Gender yang menggunakan pendekatan dengan berbasis HAM. Fasilitator menjelaskan bahwa pendekatan tranformasi gender mengubah norma gender yang kaku dan ketimpangan relasi kuasa dan masyarakat.
“Selama ini kita berbicara tentang keadilan gender karena memang ada ketidakadilan. Partisipasi perempuan sudah mulai terbuka tapi masih sangat kecil. Intinya adalah adanya perubahan sosial budaya menjadi lebih adil.” Tutup Ibu Tory.
Di hari terakhir workshop, ada testimoni dari tiga orang laki-laki sebagai bentuk pelibatan laki-laki dalam pendekatan transformatif gender. Dari testimoni tersebut ketiga narasumber menceritakan pengalaman kegiatan untuk mengubah kebiasaan gender yang berbahaya bagi perempuan seperti melibatkan diri dalam urusan rumah tangga juga terlibat dalam posyandu karena pelibatan laki-laki sangat berkontibusi untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan.
Selanjutnya adalah peserta di ajak untuk melakukan Role Play dengan mengangkat isu KBG dan TPPO di NTT, ada dua metode yaitu dilakukan dengan cara drama dan talkshow. Peserta yang di bagi dalam empat kelompok di bagi dua kelompok melakukan drama dan dua kelompok melakukan dialog interaktif dengan mengangkat kasus Mariance Kabu, kasus TPPO dengan berbagai modus juga kasus pelecehan seksual pada anak. Role Play ini dilakukan dengan sangat baik oleh setiap kelompok dan menampilkan keyakinan yang berbahaya seperti sirih pinang yang dipakai oleh para perekrut lapangan untuk mencari calon pekerja migran yang nonprosedural.
“Melalui ini jika kita bisa melihat posisi rentan orang NTT menjadi korban Perdagangan Manusia.” Ungkap Cak Mul, Koordinator Satgas Lobby dan Advokasi ZHTN. Di satu sisi, beliau juga menekankan untuk tidak melupakan pemerintah karena pemerintah yang memegang mandat utama untuk melindungi para pekerja migran.
Sesi terakhir dari workshop adalah agenda aksi atau Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang akan dilakukan untuk perubahan norma, kekuasaan, dan keyakinan berbahaya yang berpengaruh terhadap KBG dan TPPO. Kegiatan yang akan dilakukan disetiap organisasi dan atau kabupaten/kota. Berkaitan dengan RTL, beberapa peserta mengajukan usulan yaitu diantaranya berjejaring, perlu ada pelatihan lebih lanjut, satu suara untuk isu KBG dan TPPO, akan melakukan kampanye lewat media sosial, mengadakan pertemuan online mingguan atau bulanan dan disepakati RTL yang dilakukan adalah perkuat jaringan untuk anti TPPO dan KBG.
Menutup kegiatan ini, Cak Mul memberikan penghargan terhadap peserta yang sudah terlibat aktif dalam workshop ini dengan berkontribusi melalui diskusi dan perumusan masalah norma, kekuasaan dan keyakinan yang berbahaya.
Pdt. Dhebby Soru, salah satu peserta kegiatan workshop mengungkapkan tertarik mengikuti adalah karena banyak jemaat yang bekerja diluar negeri karena alasan ekonomi. Menurutnya kegiatan ini sangat seru karena semua peserta terlibat aktif dengan pencapaian yang baik dan menjadi sumber penguatan kapasitas bagi peserta. Harapannya agar jaringan ini semakin kuat dan berhasil dalam pencegahan dan penanganan KBG serta TPPO.
Oby Tani mewakili Pemuda Katolik Ende mengapresiasi kegiatan ini karena membuka wawasan anak muda sehingga bisa memahami dan mengetahui tentang KBG dan TPPO. Ia juga ingin memperluas jaringan agar mempermudah aktivitas dan kegiatannya kedepan.
“Harapannya teman-teman peserta bisa mengimplementasikan apa yang kita dapat ini ke masyarakat dan kedepannya kegiatan ini bisa terus dilakukan. Selain itu juga kalau boleh diadakan di tiap kabupaten sehingga masyarakat bisa di advokasi secara baik dan KBG serta TPPO tidak terjadi lagi.” Tutupnya. (*)