Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), selama lima tahun terakhir ada 2.102 kasus TPPO dengan korban paling banyak adalah perempuan dan anak. Dalam mengatasi persoalan TPPO yang menggurita, peran masyarakat sipil (civil society) tentunya sangat di butuhkan dan diakui secara signifikan dalam penanggulangan perdagangan orang. Peran mereka terlihat dalam kelembagaan dan kerja kerja dalam gugus tugas pencegahan dan penanggulangan Perdagangan Orang, satuan tugas PMI ilegal, jaringan penanggulangan perdagangan orang, maupun organisasi lainnya. Masyarakat sipil baik yang berbentuk organisasi non pemerintah, organisasi bantuan hukum, organisasi pekerja migran, organisasi berbasis keagamaan, asosiasi pekerja, kelompok anak muda (youth) dan lainnya juga melakukan upaya sosialisasi pencegahan, edukasi, layanan rumah aman, pendampingan kasus, pengorganisasian purna migran dan lainnya. Mereka berkoordinasi, kerja sama dan bersinergi dengan pemerintah dan stakeholder lainnya untuk kerja kerja kolaboratif pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang.
Untuk itu, Migrant CARE yang merupakan organisasi yang konsen dengan pencegahan dan penanganan TPPO, Migrant CARE yang juga tergabung dalam jaringan Zero Human Trafficking Network (ZHTN) memberikan peningkatan kapasitas kepada Pemimpin Lokal (Local Leaders) yang juga peduli terhadap pencegahan dan penanganan isu TPPO di Nusa Tenggara Timur. Pelatihan paralegal ini berlangsung pada 30 Oktober-2 November 2023 di Hotel On The Rock Kupang.
Mengundang para pemimpin dari berbagai daerah di NTT, Migrant Care mengajak peserta pelatihan untuk melihat situasi dan kondisi terkini dari Perdagangan Orang di Indonesia yang semakin massif dengan modus terbaru dalam perekrutan korban dengan penyalahgunaan teknologi yaitu online scamming. Peserta juga belajar dari empat narasumber utama yaitu Mulyadi (Migrant CARE), Abdanev Jopa C, S.H (Tenaga Ahli Biro Pemenuhan Hak Saksi dan Korban-Lembaga Perlindungan Saksi & Korban), Ermelina Singereta (Pengacara Publik), Torry Atta (Ketua LPAI Prop NTT).
Hari pertama, pelatihan paralegal bagi pemimpin lokak di buka oleh pihak penyelenggara dan peserta di minta untuk mengisi pre test. Hari kedua, Mulyadi menyampaikan informasi tentang Migrant CARE dan berbagi pengalaman dalam pencegahan dan penanganan Perdagangan Orang. Pembicara kedua, Abdanev berbicara tentang perlindungan kepada saksi dan korban TPPO yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dilanjutkan dua fasilitator Ermelina dan Torry yang membahas tentang pendekatan norma sosial dan sensitivitas gender dalam menganalisa perdagangan orang dan memberikan pendampingan bagi korban, peran pendamping dan prinsip dasar pendampingan serta peran peran paralegal. Peserta juga di ajak berdiskusi dalam bentuk kelompok. Untuk materi tentang komunikasi efektif dan teknik mewawancarai korban, peserta di ajak bermain peran dengan topik yang berhubungan dengan penanganan kasus TPPO.
Hari kedua sekaligus menjadi hari terakhir kegiatan, peserta mempelajari tentang pendekatan non stigmatisasi dalam pendampingan dan pemberian layanan, mekanisme dan alur pelayanan bagi korban perdagangan orang. Seperti pada pelatihan umumnya, peserta diminta untuk mengembangkan rencana tindak lanjut. Peserta yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini, di kelompokkan berdasarkan daerah tempat tinggal/kerja masing-masing sehingga rencana tindak lanjut bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien. Ada tiga kelompok besar yang di bentuk yaitu kelompok daratan Timor, daratan Flores, dan kelompok Sabu dan Sumba. Melihat kondisi NTT yang kepulauan, sehingga kelompok yang memungkinkan untuk melaksanakan rencana tindak lanjut secara langsung adalah dari daratan Timor. Untuk itu kelompok Timor membuat rencana untuk mengadakan roadshow dimulai dari Kupang, ke Timor Tengah Selatan dan di tutup di Malaka. Roadshow ini akan berlangsung selama Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Pdt. Sepri Adonis dari Sanggar Anak Nekamese, yang merupakan salah satu peserta dari pelatihan paralegal mengungkapkan bahwa ia bersyukur bisa kembali menjadi bagian dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh Migrant CARE dan ZHTN.
“Saya berharap agar selanjutnya, Migrant CARE juga ZHTN mau mengadakan pelatihan traumatic healing kepada para pemimpin agama, pemimpin lokal bahkan juga bagi orang muda, mengingat bahwa di daerah terpencil dan yang menjadi daerah kantong migran ini sangat sulit menemukan psikolog ataupun psikiater.” Jelas Pdt. Sepri.* (Jeny)