Youth Task Force Simpul NTT menggelar sosialisasi anti TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) bagi kaum muda Kota Kupang, khususnya para mahasiswa/i. Sosialisasi ini bertajuk “Dinamika Psikologis Korban Human Trafficking & Kampanye Human Trafficking Lewat Media Sosial”. Kegiatan ini berlokasi di Jl. W. Ch. Oematan, Kelapa Lima, pada hari Sabtu siang (02/09/23).
Hadir sebagai narasumber utama, Christiani Miru dan Rivan Ne’a, anggota YTF Simpul NTT. Sosialisasi ini diikuti para mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai kampus di Kota Kupang.
Apriani Dangga, selaku panitia, menyebutkan tujuan dari kegiatan ini. Pertama, peserta memahami kondisi dan penyebab persoalan human trafficking di NTT. Kedua, memahami dampak psikologis pada korban human trafficking. Ketiga, mempelajari dan melakukan kampanye anti human trafficking di media sosial.
Christiani, narasumber pertama, membawakan materi berjudul “Dinamika Psikologis Korban Human Trafficking”. Ia mengawali materinya dengan penjelasan definisi human trafficking atau TPPO, gambaran umum pekerja migran Indonesia, serta situasi TPPO di NTT.
Dalam kaitannya dengan dinamika psikologi, ia mengatakan korban TPPO sangat rentan mengalami tekanan psikis karena berbagai masalah, seperti perbudakan, kekerasan fisik dan non fisik, terisolasi, dan kesepian.
Menurutnya walau masalah yang terjadi sama, akan berbeda respons pada setiap korban, ada yang adaptif tetapi ada yang masih trauma. “Kondisi ini tidak bisa disamaratakan, karena itu perlu ada pendampingan berlanjut bagi para korban” ungkapnya.

Sebagai seorang psikolog, ia menjelaskan metode Bantuan Psikologis Awal (BPA) sebagai langkah pencegahan dini. “Kalau P3K untuk luka fisik, maka BPA ini pertolongan pertama untuk luka psikis” jelasnya.
Ia menerangkan BPA sebagai serangkaian keterampilan sederhana yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif dari suatu masalah sekaligus penunjang proses pemulihan psikologis.
Ia menjabarkan tiga tahapan prosedur BPA kepada para peserta sehingga bisa memiliki dasar bila menemui kasus di lapangan. Pertama, Mengenali dan memberikan perhatian/Melihat (Look). Kedua, Mendengarkan (Listen). Ketiga, Menghubungkan (Link). Tahapan 3L ini dijelaskannya secara rinci.
“Teman-teman bisa terapkan 3L ini sebagai proses awal. Namun, dalam kondisi serius maka perlu bantuan profesional” pesannya kepada para peserta.
Rivan, narasumber kedua, memberikan materi berjudul “Kampanye Human Trafficking Lewat Media Sosial”. Di dalam materinya, ia menjelaskan pentingnya pemanfaatan media sosial dalam kampanye anti TPPO. Ia juga mengajarkan strategi memanfaatkan media sosial demi kampanye yang efektif dan tepat sasar.
“Dengan kampanye di medsos, kita memberikan edukasi kepada banyak orang untuk waspada pada modus TPPO di era digital” paparnya.
Pada sesi selanjutnya para peserta dibagi ke dalam dua kelompok besar untuk berdiskusi tentang media sosial dan kelebihannya dalam kampanye anti TPPO.
Setiap kelompok secara bergilir mempresentasikan hasil diskusi. Mereka juga memberikan pandangan dan pengalaman terkait kampanye media sosial saat ini.
Setelah itu, para peserta didampingi dalam praktik membuat konten kampanye. Ada yang berupa video maupun poster/carousel. Semua konten tersebut langsung diunggah pada Instagram masing-masing peserta.
Velin Jessica, salah seorang peserta, mengatakan kegiatan ini bagus karena bagi yang belum tahu isu TPPO. Ia merasa senang karena bisa menambah relasi baru dalam perjuangan memberantas TPPO di NTT. “Saya harap orang-orang muda tak hanya belajar isu TPPO sebatas ruangan diskusi saja, tapi berinisiatif untuk terus belajar secara mandiri” ungkap mahasiswi Universitas Kristen Artha Wacana ini.
Pada penghujung kegiatan panitia memberikan hadiah bagi peserta dan kelompok yang aktif serta bagi peserta dengan konten kampanye terbaik. Kegiatan pun ditutup dengan foto bersama. (Yose)