Zero Human Trafficking Network

Connecting People, Make the Movement Visible

Diskusi Publik Darurat Human Trafficking di NTT: Bagaimana Stakeholders Mengakhirinya

Facebook
Twitter
LinkedIn

Kupang – Zero Human Trafficking Network (ZHTN) bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyelenggarakan Diskusi Publik Darurat Human Trafficking di NTT: Bagaimana Stakeholders Mengakhirinya pada Kamis (10/08/2023) di Kristal Hotel Kupang dengan mengundang beberapa narasumber yaitu Emanuel Melkianus Laka Lena (Wakil Ketua Komis IX DPR-RI), (Dr.iur.) Antonius PS Wibowo (Wakil Ketua LPSK), Dominggus Elcid Li, Ph.D (IRGSC), Ana Waha Kolin (Anggota DPRD NTT Komisi 1), Sylvia R. Peku Djawang, S.P., M.M., (Kadis Kopnakertrans NTT), Kanit Farid Fai, (Direktur Reskrimum Polda NTT). Tidak hanya dari instansi pemerintah ZHTN dan LPSK juga mengundang Rm. Eko Aldianto, O. Carm (mewakili Kardinal) dan Frederika Tadu Hungu, S. Th, M. H (Rumah harapan GMIT) untuk melihat isu Human Trafficking dari sisi religius.

(Foto: Sambutan Pdt. Elga Sarapung)

Pdt. Elga Sarapung mewakili ZHTN menegaskan bahwa dialog publik ini penting karena tidak hanya memperingati Hari Anti TPPO pada 30 Juli 2023 lalu, namun maknanya sampai pada korban. ZHTN juga mengharapkan agar pemerintah nasional, termasuk pemimpin adat dan pemimpin agama berkolaborasi dan bersinergi untuk menyelamatkan masyarakat NTT dari Perdagangan Orang.

(Foto: Penandatanganan Komitmen Bersama)

Dalam Diskusi Publik ini juga pemerintah melakukan penandatanganan komitmen bersama bergiliran di wakili oleh instansi-instansi berikut: Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Tinggi, Polda NTT, LPSK, Pemerintah Provinsi NTT, ZHTN, Jaringan Anti Perdagangan Orang NTT. Komitmen itu berisi tentang penolakan terhadap TPPO dan berjanji untuk mengakhiri segera situasi darurat TPPO, mengungkap dan menindak pelaku jaringan TPPO, serta menangani pemulihan korban TPPO melalui kolaborasi dan sinergi antar semua pihak dalam Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di NTT.

Diskusi Publik ini juga menghadirkan dua orang penyintas antar negara dan antar provinsi, Mariance Kabu dan Erie Ndun yang berharap agar kasus mereka kembali di buka dan bisa di selesaikan. Melihat TPPO dari sisi religius, Rm Eko menjelaskan bahwa Gereja Katolik menyediakan buku pedoman pendampingan korban bagi para pastor sedangkan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menyediakan layanan rumah aman bagi korban oleh Rumah Harapan GMIT.

Narasumber pertama yaitu Emanuel Melkiades Laka Lena menjelaskan TPPO bisa dilawan dengan dua cara yaitu pencegahan di aspek instrumen hukum (kepada pelaku) dan menyiapkan anggaran khusus untuk pemberantasan TPPO. Contohnya adalah dengan menghidupkan BLK Provinsi. Potensi orang-orang yang bekerja di luar negeri perlu untuk dipersiapkan dengan baik.

(Foto: Para Narasumber)

Selanjutnya, Dominggus Elcid Li memberikan rekomendasi kepada pihak pemerintah agar lebih memperhatikan sektor pendidikan, secara khusus adalah memperhatikan gaji guru honorer yang sangat memprihatinkan. Langkah konkrit selanjutnya yang ditawarkan adalah dengan menghentikan krisis ekonomi di pedasaan, salah satu contohnya adalah menggalakan pertanian lahan kering. Ini merupakan upaya dan langkah yang bisa dilakukan dalam upaya pencegahan TPPO di NTT.

Diskusi Publik ini juga mengajak peserta untuk memikirkan langkah terbaik dalam penanganan dan pecegahan TPPO di NTT yaitu dengan berdiskusi dalam kelompok tentang empat topik yaitu pencegahan TPPO di NTT, penindakan pelaku-jaringan pelaku-perusahaan pelaku, penanganan dan pemulihan korban TPPO, partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam pencegahan dan pemulihan korban TPPO.

(Foto: Suasana Diskusi Publik)

Hasil diskusi dari empat kelompok setuju untuk mendorong membentuk satuan tugas sampai ke aparat desa, menindak tegas pihak-pihak terkait yang menyebabkan TPPO, pemulihan dan pemberdayaan bagi korban juga kepada masyarakat yang rentan menjadi korban TPPO.

“Kita sepakat berkomitmen untuk mencegah dan menangani TPPO di NTT. Harapannya adalah hasil dari kegiatan ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah pusat.” Tutup Handari Dewi, Kepala Biru Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. * (Jeny)

More Posts

id_IDBahasa Indonesia