Salah satu permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia adalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). TPPO lahir karena berbagai alasan, selain faktor ekonomi faktor penyebab lainnya adalah ketidakharmonisan keluarga, pernikahan dini dan perceraian, tingkat pendidikan yang rendah, perubahan iklim dan perampasan tanah oleh pemerintah.
Setiap tahun di salah satu provinsi di Indonesia, yaitu NTT sampai dengan 31 Desember 2023, sebanyak 185 pekerja migran menjadi korban Human Trafficking, ada sebanyak 151 cargo jenazah pekerja migran NTT. Rata-rata setiap bulan ada 12,58 pekerja migran ilegal meninggal di luar negeri. Hampir semuanya berstatus pekerja ilegal. Kebanyakan meninggal karena sakit dan kecelakaan. Belum lagi korban human trafficking dalam berbagai bentuk dari daerah lain, seperti Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Barat (khususnya Pontianak, Singkawang), Batam, Manado, Minahasa, dan lain-lain dengan modus yang berbeda, baik untuk antar Negara maupun antar daerah di Indonesia.
Melihat situasi dan kondisi yang semakin tidak terkontrol tersebut, Tim Lobby dan Advokasi Zero Human Trafficking Network mengadakan dialog publik yang secara khusus membahas tentang Perdagangan Orang di Indonesia.
Bincang Human Trafficking ini diselenggarakan berseri (Januari, Februari, Maret). Seri pertama dilangsungkan pada Selasa (23/01/2024) dengan mengundang enam orang pembicara dari berbagai daerah di Indonesia yang berkecimpung dalam bidang kemanusiaan. Diantaranya dari Manado, Kalimantan Barat, Lampung, Batam, Jawa Barat dan Kupang.
Setiap narasumber menyampaikan upaya-upaya dalam penanganan kasus TPPO, seperti pembicara Irwan Setiawan dari Yayasan Embun Pelangi Batam yang melakukan pemetaan berdasarkan informasi dari korban. Sedangkan salah satu narasumber dari Manado yang bergiat Rumah Aman Yayasan Kasih yang Utama, Pdt. Marhaeni Mawuntu menyebutkan bahwa kasus paling banyak yang ditangani adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak sehingga program trauma healing bagi anak itu penting, melihat kenyataan bahwa pihak pemerintah belum siap untuk membangun sebuah rumah aman yang mumpini bagi korban.
Di Kalimantan Barat sendiri, Robby Sanjaya dari Parinama Astha, menyebutkan kasus TPPO yang paling sering terjadi adalah pengantin pesanan, dengan tantangan yang berkaitan dengan sumber daya manusia yang tidak memadai di tambah pelaku dari lingkaran keluarga.
Dari Kupang sendiri, ada Pdt. Emmy Sahertian yang menegaskan agar perlu untuk menganggu negara berkaitan dengan TPPO, dengan cara apapun karena TPPO bisa menjadi persoalan abadi yang berkelindan dengan ploitik transaksional dimana rakyat dijadikan komoditas.
Gabriel Goa, selaku moderator dalam pertemuan ini menyatakan harapannya agar ada badan nasional untuk TPPO bukan hanya sekedar gugus tugas.* Jeny