Aksi Damai 1000 Lilin di Kupang, NTT Untuk Korban Perdagangan Orang Adelina Sau di Malaysia
“Saya tidak bisa diam. Saya harus berbicara” Ungkap Mariance Kabu (40) salah seorang penyintas korban perdagangan orang pada 2015 di Malaysia yang mengikuti aksi damai ini. Ia menyampaikan suara hatinya menjadi korban perdagangan manusia saat bekerja di Malaysia selama kurang lebih delapan bulan dan mengalami penyiksaan oleh majikannya. Meskipun demikian dengan berani Mariance Kabu berbicara di hadapan warga Kota Kupang yang melakukan Aksi Damai 1000 Lilin untuk Korban Kejahatan Kemanusiaan. Aksi damai menyalakan seribu lilin ini digelar untuk menentang putusan bebas majikan Adelina Sau/Adelina Lisao sekaligus memperingati Hari Anti Penyiksaan dunia pada Sabtu, 2 Juli 2022 di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur, pukul lima sore.
“Apa yang saya alami saya tidak akan lupa sampai saya mati. Saya dibuat bisu, saya disiksa habis-habisan.” Kalimat itu diungkapkan dengan suara yang bergetar oleh Mariance Kabu, salah seorang penyintas human trafficking yang ikut serta dalam aksi ini. Meskipun penderitaan yang dialami sungguh menyakitkan namun ia tetap harus bersuara demi sesama dan demi keluarganya. Untuk Indonesia terkhususnya Nusa Tenggara Timur, Mariance Kabu berpesan tetap maju untuk membuka keadilan serta melawan kebohongan.
Adelina Sau/Adelina Lisao adalah seorang PMI asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di Malaysia. Ia disiksa dan diperlakukan seperti binatang oleh majikannya, Ambika MA Shan di Malaysia hingga kemudian meninggal dunia secara mengenaskan pada 11 Februari 2018. Proses persidangan terhadap majikan Adelina berlangsung tarik ulur di Malaysia hingga pada 23 Juni 2022 Mahkamah Tinggi Malaysia menjatuhkan putusan bebas kepada majikannya. Berbeda dengan proses peradilan di Indonesia sindikatnya malah telah terpenjara.
“Betapa sulitnya mendapat keadilan, kadang suara kita dibawa angin. Tidak ada yang benar-benar dengar.” Ungkap Koordinator Jaringan Solidaritas Kemanusiaan, Pdt. Emmy Sahartian. Menurutnya Nusa Tenggara Timur, baik dalam keluarga maupun di ruang publik harus melindungi perempuan dan anak. Kalau tidak maka kita adalah bagian dari penindasan itu. Kalau orang Nusa Tenggara Timur diam, maka dia menjadi bagian dari itu. Kita tidak boleh diam karena itu adalah perjuangan kemerdekaan negara Indonesia.
Ada 24 organisasi aliansi yang bergabung dalam kegiatan ini terdiri dari komunitas religius, organisasi masyarakat, pemerhati kasus kemanusiaan, komunitas advokasi Hak Asasi Kemanusian dan organisasi kemahasiswaan. Aksi ini diisi dengan pembacaan puisi, menyanyikan lagu-lagu perjuangan, orasi dari beberapa aliansi, deklarasi tuntutan aksi dan doa bersama saat lilin dinyalakan. Puisi-puisi yang dibawakan oleh para peserta aksi dilakukan dengan piawai. Puisi-puisi tersebut menyangkut ketidakadilan yang dialami oleh para PMI di luar negeri.. Dalam orasi, dengan tegas peserta meminta agar pemerintah menegakkan keadilan terhadap kasus-kasus kemanusiaan yang terjadi di NTT dan yang dialami oleh orang NTT. Meskipun angin bertiup dengan kencang dan sangat sulit untuk menyalakan lilin, peserta mengakalinya dengan membentuk lilin seperti api unggun sehingga menghasilkan nyala yang lebih besar dan tidak padam. Peserta aksi yang awalnya membentuk lingkaran besar berubah menjadi lingkaran kecil untuk melindungi nyala lilin dari angin.
Sementara itu, Pater Selestinus Panggarra CMF dari Solidaritas Claret menyampaikan suara hatinya bahwa Perdagangan Manusia tidak dibenarkan oleh semua agama, oleh karena itu kerjasama antara umat beragama sangat penting untuk dilakukan dan salah satu aksi nyata adalah melalui aksi-aksi damai seperti Aksi Damai 1000 Lilin untuk Korban Kemanusiaan. Hal itu dibenarkan oleh Tini, seorang mahasiswi muslim mewakili Rumah Milineal Indonesia yang turut berpartisipasi dalam Aksi Damai dan menyuarakan hatinya terkait kasus-kasus TPPO yang seolah tidak ada habisnya.
Puisi-puisi dan orasi yang terus mengalir dari peserta membuktikan bahwa masyarakat NTT prihatin dengan isu kemanusian yang menggurita di NTT. Dalam kesempatan ini pula, Pdt. Emmy mengungkapkan kasus pembunuhan terhadap ibu dan anak, Astri Manafe (30) dan Lael (1) di Penkase pada Desember lalu. Menurutnya kasus penyiksaan terhadap peremuan dan anak di NTT itu sangat tinggi dan dalam aksi seribu lilin ini juga turut mendoakan korban pembunuhan tersebut sekaligus memperingati semua korban kemanusiaan.
Selanjutnya Koordinator Lapangan Aksi Damai mendeklarasikan tuntutan aksi kepada pemerintah daerah dan pusat. Ada 9 aksi tuntutan. Pada poin ke-8 dan ke-9 aksi tuntutan dibacakan bersama masyarakat NTT yang hadir dalam aksi. Deklarasi dilakukan di tangga Kantor Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berikut adalah 9 aksi tuntutan masyarakat NTT:
- Menuntut pemerintah Indonesia menghentikan sampai batas waktu yang tidak ditentukan, pengiriman calon pekerja migran Indonesia ke Malayasia
- Mengecam putusan bebas majikan Adelina Sa’u dan meminta pemerintah Indonesia melalui Kemenlu untuk melakukan lobi politik guna meninjau adanya kemungkinan peninjauan kembali kasus Adelina
- Meminta kejelasan atas status hukum Mariance Kabu
- Menuntut perlindungan penuh bagi pekerja migran Indonesia di negara penempatan
- Menuntut pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk meninjau kembali Surat Keputusan 14 November 2018 tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia/Pekerja Migran Indonesia asal NTT ke Luar Negeri
- Menuntut profesionalitas Kemenlu dalam penanganan kasus hukum pekerja migran asal Indonesia di Malaysia
- Mendesak Kemenlu bekerja sama dengan atase terkait di Malaysia untuk menangani pekerja migran yang ditahan di pusat tahanan sementara Sabah-Malaysia
- Menuntut Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat untuk mundur bila tidak mampu menangani perdagangan orang di NTT
- Menuntut kepastian hukum atas kasus-kasus perdagangan orang yang masih mangkrak di POLDA NTT
“Aksi ini dilakukan karena kasus Adelina Sau mulai mencuat ketika majikannya dibebaskan murni. Dan itu tamparan bagi kita bangsa Indonesia.” Jelas Pdt. Emmy dalam wawancaranya. Ia juga menyebutkan kasus tentang banyaknya deportan yang ditampung di rumah detensi di Malaysia yang mengalami perlakuan tidak manusiawi ditambah dengan fasilitas yang sangat buruk sehingga mengalami gangguan kesehatan dan cukup banyak yang meninggal karena hal itu. Harapannya adalah aksi ini tidak berhenti sampai disini saja tetapi menjadi langkah awal untuk aksi-aksi berikutnya demi keadilan itu bisa ditegakkan.
“Kita harus memerdekakan bangsa ini dari perbudakaan modern.” Tutupnya. (Jeni)