Zero Human Trafficking Network

Connecting People, Make the Movement Visible

Adelina: Au Fain – Saya Mau Pulang

Facebook
Twitter
LinkedIn

“Au fain” adalah ungkapan dalam Bahasa asli Timor Tengah Selatan yang artinya, “aku mau pulang”. Ungkapan singkat tersebut merupakan “kekuatan” bagi Adelina Sau (alias Adelina Lisao), remaja perempuan 17 tahun dari Desa Abi, Kecamatan Oenino, Timor Tengah Selatan, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir di Malaysia. Dia disiksa oleh majikan keturunan India, S. Ambika (60 thn), yang beralamat di Taman Kota Permai, Bukit Mertajam, Penang Malaysia.

Menurut tetangga yang melihatnya, Adelina terpaksa tidur dengan seekor anjing di beranda rumah selama sekitar satu bulan. Kepala dan wajahnya bengkak, kaki dan tangannya penuh luka borok dan bernanah. Pada tanggal 10 Februari 2018 dia ditolong dan dibawa ke rumah sakit di Penang. Dua harı kemudian nyawanya tak bisa diselamatkan karena luka masih bernanah dan infeksi yang sudah menjalar ke organ tubuh yang lain. Ia meninggal pada tanggal 11 Februari 2018. Laporan hasil post-mortem Rumah Sakit Penang mencatat, penyebab kematian adalah multi organ failure secondary to anemia (possible neglect). Adelina mengalami kegagalan multiorgan dalam dan mengalami anemia.

 Kisah Pilu Adelina

Tahun 2012, Adelina tammat SD Negeri Nifukani, Desa Abi, Timor Tengah Selatan. Dia merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. Orang tuanya tidak mampu membiayai Pendidikan sehingga Adelina tidak meneruskan sekolah. Ia membantu orang tua mengurus rumah dan kebun. Adelina direkrut sekitar bulan Agustus tahun 2015. Sebenarnya calo sudah beberapa kali menemui orang tuanya untuk meminta Adelina bekerja di Malaysia. Namun, orang tua tidak mengizinkan. Pada saat mereka sedang bekerja di kebun, Adelina, yang memang tartarik dengan janji sang calo, dijemput dan dibawa pergi. Marthen Sau, sang ayah, dititipi uang Rp500.000 melalui tetangga, tanpa tahu apa maksudnya. Saat direkrut, Adelina masih berumur 16 tahun. Identitasnya lalu dipalsukan. Namanya menjadi Adelina Lisao, tahun kelahirannya diubah, tahun 1998 menjadi 1992. Sejak itu, komunikasi dengan keluarga terputus hingga keluarga mendapat informasi bahwa Adelina meninggal di Malaysia.

Adelina meninggal karena disiksa secara mengerikan oleh majikannya (seorang ibu berusia 60 tahun dengan dua anaknya, wanita berumur 36 tahun dan pria berumur 39 tahun). Menurut penuturan salah seorang tetangga majikannya di Malaysia, Adelina dipaksa tidur dengan anjing Rottweiller di teras rumah majikannya beralaskan tikar lusuh selama lebih dari sebulan. Kondisi Adelina juga penuh dengan luka di wajah, tangan, dan kaki. Tetangga itu kemudian melapor kepada kepolisian Malaysia, bahwa ada dugaan penyiksaan terhadap seorang warga negara Indonesia. Polisi datang dan kemudian membawa Adelina dalam keadaan kritis ke RS Bukit Mertajam, Malaysia. Steven Sim (anggota parlemen di Bukit Mertajam) mengatakan bahwa bahwa saat bertemu, kondisi Adelina lemah dengan luka parah di tangannya. Adelina sempat menuturkan bahwa selama Januari- Februari 2018, ia dipaksa tidur di luar rumah Bersama anjing peliharaan majikan, tak diberi makan, dan mengalami penganiayaan. Meski sudah mendapat perawatan, namun nyawa Adelina tidak tertolong. Adelina meninggal dunia pada Minggu, 11 Februari 2018. Saat mendapat kabar kematian Adelina, ibu Adelina (Yohana) mendatangi Polres Timor Tengah Selatan. Ia meminta agar jenazah anaknya dipulangkan ke Indonesia. Permintaannya dipenuhi.

Jenazah disambut dengan tangisan Ibu kandung dan keluarga yang menjemputnya di kargo bandara El Tari, Kupang, Sabtu, 17 Februari 2019. Jenazah langsung dibawa ke kampung Adelina di Desa Abi, Kecamatan Oenino, Timor Tengah Selatan.

 Perkembangan Kasus

Ibu kandung Adelina meminta pihak kepolisian agar kasus anaknya ditindaklanjuti. Polisi Malaysia pun menangkap ketiga majikan itu. Menurut hukum Malaysia, majikan Adelina yang bernama Ambika M. A Shan dijerat pasal 302 hukum pidana, dengan ancaman hukuman mati. Sementara Ambika R Jayavartiny didakwa telah mempekerjakan imigran ilegal sejak Maret 2017 hingga 10 Februari 2018. Perempuan 36 tahun tersebut dianggap melanggar Pasal 55 B ayat 1 Hukum Imigrasi. Jika terbukti bersalah, Jayavartiny akan dihukum selama satu tahun, dan denda maksimum 50.000 ringgit (sekitar Rp173 juta). Jayavartiny membantah, meski ia mengakui kalau mengetahui bahwa Adelina datang secara ilegal. Ketiga majikan Adelina juga diinterogasi oleh Tenaganita, salah satu organisasi nonpemerintah yang melindungi pekerja migran dari penganiayaan. Sang majikan membantah memperlakukan Adelina secara tidak pantas, namun mengakui pernah menamparnya beberapa kali. Majikan Adelina mengklaim bahwa luka-luka Adelina dipicu cairan pembersih kimia membersihkan tempat cuci piring di dapur. Menurut keterangan dokter, Adelina menderita memar di kepala dan wajahnya. Dia menderita kegagalan multiorgan  sekunder akibat anemia. Artinya, organ tubuhnya gagal bekerja karena kekurangan darah di tubuhnya. Namun, bukti-bukti itu ternyata tak dianggap cukup oleh pengadilan tinggi untuk menghukum ketiga majikan Adelina. Mereka dibebaskan dari dakwaan pada tanggal 18 April 2019. Keputusan itu mendapat respon dari keluarga, pemerintah Indonesia, dan juga LSM yang mendampingi kasus Adelina. Glorene A. Das, Direktur Eksekutif Lembaga pelindung pekerja di Malaysia, Tenaganita, mempertanyakan hukum Malaysia dan meminta Kejaksaan Agung untuk menjawab mengapa tidak ada keadilan untuk Adelina padahal ada bukti yang jelas.

Menurut informasi dari VOA, 22 April, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia di Kementerian, Lalu Muhammad Iqbal, menyatakan telah meminta jaksa penuntut umum untuk mengajukan banding terhadap putusan bebas murni yang disampaikan hakim Pengadilan Tinggi Penang, Malaysia. Ini bukan kasus pertama di pengadilan Malaysia. Beberapa waktu lalu, seorang bangsawan kaya Malaysia bernama Datin Rozita Mohamad Ali (44) dibebaskan setelah melakukan penganiayaan terhadap Suyanti Sutrisno (19), pekerja rumah tangga asal Indonesia. Keluarga Adelina juga melakukan pertemuan untuk membahas kasus Adelina dan mempertanyakan hukum Malaysia yang membebaskan majikan Adelina.

Keluarga juga mendatangi kantor Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) untuk meminta bantuan menindaklanjuti kasus itu dan berharap majikan Adelina dihukum sesuai hukum yang berlaku di Malaysia. Pada tanggal 8 Februari 2019 Tenaganita Malaysia dan Jaringan Anti Perdagangan Orang NTT mengeluarkan pernyataan pers dalam rangka memperingati Adelina Sau dan menegakkan Hak-hak Pekerja Rumah Tangga. Pemerintah Malaysia perlu bertindak tegas dan memberlakukan peraturan perlindungan pekerja “Human Trafficking” atau “perdagangan manusia” memang bukan hal baru dalam sejarah manusia. Tetapi, ketika itu sekarang berada di depan mata kita, terjadi di beberapa daerah di Indonesia, terutama di NTT, maka, bukan hanya mata yang melihat, tetapi seluruh indra manusia kita benar-benar “bergerak”. Akal budi, nurani, sikap, menyatu, utuh dan dengan penuh kesadaran berbulat tekad untuk “melawan” segala praktek yang sudah sangat merendahkan martabat, harga diri, kemanusiaan manusia. Kita perlu Refleksi rumah tangga yang telah diajukan Tenaganita dan NGO-NGO yang lain di Malaysia. Pada bagian akhir pernyataan pers tersebut, Tenaganita dan Jaringan Anti Perdagangan Orang NTT berkomitmen untuk berdiri bersama korban, penyintas, keluarga korban, aktivis, tokoh agamadan tidak mau lagi menyaksikan pun kematianpekerja rumah tangga. Kasus Adelina Sau merupakan fakta menyakitkan bahwa NTT berkategori darurat perdagangan orang. Betapa rakyat yang lugu telah dipermainkan oleh kondisi ketidakadilan sosialdan ekonomi yang   NTT. Rakyat dipermainkan oleh ketidakpastian hukum dan politik yang memberi celah bagi para mafia tamak.

Sebuah memoria passionis Pekerja Migran NTT terutama pada sektornonformal.

(Pdt. Emmy Sahertian – pendeta GMIT, anggota Z-HT)

Adelina: Au Fain (Saya Mau Pulang)

More Posts

id_IDBahasa Indonesia